Kamis, 13 Januari 2011

Menegur Batita Tanpa Berteriak

sumber: okezone
“ADUH, kamu bandel banget sih, dibilangin jangan diberantakin, masihhh aja dilakuin... Udah berapakali Mama bilang, habis main beresin mainannya!!!” teriak Laura (32) keras kepada putrinya, Cyntia, yang berusia 3 tahun.

Gadis kecil itu spontan terdiam melihat ekspresi muka marah sang Mama, sedetik kemudian dia mulai menangis. “Sudah, jangan nangis! Mama pusing dengarnya...” jawab Cyntia kehabisan kesabaran.

Apakah Moms sering kesal dengan ulah si kecil? Alih-alih menegurnya baik-baik, tanda sadar orangtua yang sudah telanjur kesal malah membentaknya. Bukannya sadar bahwa perbuatannya keliru, batita malah bisa jadi trauma, terluka perasaannya, atau ketakutan karena kaget mendengar hardikan Moms. Hmm, bagaimana ya cara aman menegur si 3 tahun?

Mendisiplinkan Anak

Teguran adalah upaya memaksa orang yang ditegur untuk melakukan apa yang diharapkan oleh si penegur, tanpa peduli apa kepentingan orang yang ditegur. Dan ada kalanya teguran diperlukan dalam konsep asuh-didik yang bertujuan membentuk kepatuhan. Ya, untuk mendisiplinkan anak, orangtua biasanya membuat aturan untuk dipatuhi.

Sayangnya, orangtua sering lupa, batita kadang-kadang bukan dengan sengaja melanggar aturan yang telah Moms terapkan. Pada usia ini, mereka memiliki memori atau ingatan yang sangat singkat, sangat impulsif dan penuh rasa ingin tahu.

Itulah sebabnya orangtua akan menemukan bahwa mereka perlu untuk memberitahu hal yang sama, lagi, lagi dan lagi kepada si batita. Ya, batita memerlukan pendampingan berupa pengulangan-pengulangan. Akhirnya, mereka akan belajar dan nantinya hal-hal tersebut akan melekat menjadi suatu kebiasaan. Dan segala teriakan, cubitan, atau pukulan tidak diperlukan.

Trauma dengan Situasi Serupa

Memang, teguran itu sendiri tidak akan menyebabkan traumatis pada balita kelak. Tapi, pemaknaan terhadap teguran itu yang membuat si kecil menjadi trauma dengan situasi serupa.

Misalnya saja, ia trauma terhadap suara bicara yang keras seperti hardikan atau makian, bisa juga ekspresi wajah seperti ekspresi wajah marah saat menegur. Atau, bisa jadi ia trauma terhadap panggilan atau ajakan bicara empat mata.

Sebagai orangtua Anda tak ingin ia mengalami rasa trauma, bukan?

Tip Menegur Anak

Berikut beberapa tip untuk membantu orangtua menegur anak dengan cara yang tepat:

1. Hindari menggunakan kata-kata kasar dengan intonasi suara yang meninggi. Sebaiknya gunakan kalimat yang singkat, tegas dengan intonasi suara yang menurun. Misalnya, “Kamu perlu duduk sebentar.”

2. Sulit bagi seorang anak untuk menaati perintah yang diawali dengan kata negatif seperti “jangan”. Sebaiknya ganti kata “jangan” dengan kata awal yang positif. Contoh: Anda tak ingin keramik yang terpajang di mal dipegang-pegang si kecil. Daripada menggunakan kalimat “Jangan sentuh itu!” tawarkan alternatif padanya, “Taruh tangan kamu di belakang ya, kamu hanya boleh melihatnya.”

3. Biarkan anak membuat pilihan. Misalnya, bila si kecil menolak berpakaian, cobalah memungkinkan dia untuk memilih dari antara dua pakaian. Hal ini mengalihkannya dari sikap bersikeras (menolak berpakaian) sementara juga memungkinkan ia merasa memegang kendali.

4. Mintalah kerjasama, bukan menuntut. Sebaiknya ganti kata “Kamu harus...” menjadi “Tolong bereskan mainanmu. Letakkan ke tempat semula.”

5. Jelaskan alasan di balik permintaan Anda jika diperlukan. Misalnya, si kecil memukul-mukul air di kolam ikan dengan kayu. Daripada memarahinya dengan kalimat “Jangan dipukul, bandel banget sih...” Katakan, “Dek, berhenti memukul airnya. Lihat, ikan-ikan itu jadi ketakutan. Kasihan ikannya...”

6. Gunakan kata “kita” saat menegur anak yang melanggar kebiasaan rutin dalam keluarga. Misalnya, ia selalu berlari dari kursi makannya saat jam makan. Katakan, “Kita selalu duduk di meja makan kalau makan” sehingga anak juga belajar bahwa aturan itu juga dijalankan oleh anggota keluarga yang lain.

7. Tegur perbuatannya, bukan anaknya. Misalnya, jika anak lupa membereskan mainannya setelah bermain, maka yang ditegur adalah kealpaan atau kelalaiannya. Misalnya, “Hayoo... lupa lagi kan membereskan mainannya?” Menegur perbuatan anak secara khusus akan membuat anak mengerti dengan jelas dimana letak kesalahannya, sehingga diharapkan ia dapat belajar dari itu. Bukan menegurnya dengan cara “Kamu itu bandel, bodoh, nggak pernah ingat beresin mainan!” Hal ini hanya akan melukai perasaan anak.

8. Bila si kecil mengalami kesulitan untuk beralih dari apa yang dia kerjakan, misalnya sangat sulit diajak untuk berhenti bermain. Berikanlah peringatan terlebih dulu, misalnya, “Kita akan berangkat 1 menit lagi, jadi bilang “dadah” dulu sama mainanmu...” Atau, “Waktu Adek bermain tinggal 5 menit lagi ya, setelah itu Adek mau bobok siang.”

9. Saat ingin menegur si kecil, usahakan hanya ada Anda dan dia. Teguran sebaiknya bersifat pribadi. Jika ada orang lain, misalnya tamu yang sedang berkunjung ke rumah, ajak anak ke kamar atau ruangan lain. Jika Moms menegurnya di depan umum atau di hadapan orang lain, anak akan merasa tidak dihargai.

Sekali lagi, perlakukanlah anak bagaimana Anda ingin dia memperlakukan orang lain. Orangtua adalah role model utama bagi anak-anak. Jika mereka melihat Moms berteriak atau marah-marah, anak akan belajar bahwa teriakan atau marah adalah cara dalam mengatasi situasi yang sulit.

Sebaliknya, bila Moms or Dads tetap tenang dan memberi contoh perilaku yang baik, si kecil jauh lebih mungkin untuk berperilaku demikian kelak. Memang, punya anak batita kadang-kadang membuat Anda berada dalam situasi yang membuat frustrasi. Tapi, usaha mendisiplinkan anak dengan cara yang lembut akan terbayarkan seiring ia tumbuh besar. Percayalah!

Bila si Kecil Melakukan Kesalahan

- Perlu dipahami, manusia tidak pernah luput dari kesalahan. Jadi, semua manusia, termasuk anak balita, boleh melakukan kesalahan. Hal yang perlu diperhatikan bukan soal melakukan kesalahan atau tidak, melainkan sikapnya ketika kesalahan itu terjadi.

- Masa balita adalah masa pemaparan nilai etika sebagai bibit pembentukan nilai moral. Jadi, pada masa ini, anak belajar soal benar-salah dan baik-buruk menurut versi masyarakat dimana ia berada. Bila balita melakukan kesalahan, jelaskan bahwa itu salah dan sebaiknya dihindari.

- Masa balita adalah masa belajar membangun kebiasaan. Jadi tuntutan belajar anak balita adalah menjadi terbiasa, bukan menjadi bisa. Oleh karena itu, “pantang” menuntut balita menjadi bisa. Termasuk juga, “pantang” menguji kebisaan si balita.

Orangtua, guru, pengasuh dan orang-orang di sekitarnya cuma perlu memberi kesempatan pada mereka untuk mengulang-ulang hal itu. Kalau pengulangannya memadai, pada saatnya si balita akan terbiasa sehingga akan terlihat “sudah bisa”.
(Mom& Kiddie//ftr)